Friday, December 16, 2011

Review : Winamp V.5.622




Sebenernya udah beberapa minggu mau member komentar mengenai salah satu software music player sejuta umat, Winamp. Alasan saya mau mengulas Winamp ini adalah karena update terbarunya sangat berbeda dari kualitas suaranya. Meskipun saat ini, Winamp sudah mulai tersaingi, bahkan kalah oleh software music lainnya seperti iTunes, audacity, jetAudio, maupun foobar. Dari ulasan beberapa teman di forum dan lainnya, memang untuk penikmat suara (Audiophile) lebih cenderung menggunakan foobar, selain ringan tetapi bisa bekerja dengan sedikit modifikasi ini-itu dan bisa diatur untuk keluaran output DAC tertentu. Tentu hal ini menarik bukan? Sayangnya saya malas mengutak-atik ini itu.

Sebelum software Winamp terbaru edisi v5.622, saya menggunakan v5.58. Sebenarnya dari versi tersebut tidak cukup jauh ( sekitar satu sampai dua tahun) jaraknya. Hanya saja saya merasa ketika memainkan music dengan versi terbarunya, agak berbeda.

Secara fisik memang sama karena saya memang menggunakan tema yang standar (malas utak-atik). Sebenarnya saya juga tidak tahu bahwa versi barunya beda di kualitas suaranya. Alasan saya pindah versi adalah karena shoutCast-nya tidak bisa di versi lama, sementara yang dibaru bisa. Saya biasa mendengarkan Winamp menggunakan speaker multimedia Edifier, yang menurut saya suaranya pas dengan selera saya dengan harga yang terjangkau. Saat saya setel music, dengan speaker MM(multimedia) ini, saya tidak “ngeh” dengan perubahan suaranya saat pertama kali. Namun saat saya setel beberapa lagu referensi saya untuk menguji kualitasnya, mantep. Begitu pula dengan menggunakan headphone yang saya amplify terlebih dahulu. Suara hiss tetap ada (memang ini pengaruh sound cardnya) tetapi memang berbeda dengan suaranya terdahulu.

Perubahan suara paling signifikan adalah di positioningnya. Untuk suara atas (high freq) cenderung turun kualitasnya. Biasanya saya tidak bisa membayangkan posisi music ketika dimainkan lewat speaker, namun saat ini bisa terbayang, apalagi jika menggunakan headphone. Separasi music yang disajikan nyaris mendekati selera saya, yaitu dimana separasinya cukup jelas dengan penempatan posisi yang mudah untuk dibayangkan. Lalu saya bandingkan amplifier dan headphone saya yang dicolok ke Cowon S9, dan ternyata memang benar, suara Winamp ini mulai mendekati S9 saya, meskipun masih jelas perbedaannya. Tapi ini lebih baik daripada dahulu, ketika saya mengomparasikan laptop dengan S9. Ibaratnya anda berkendara naik Taksi Mercedes  lalu anda pindah menggunakan Taksi Vios atau apalah yang serupa. Tapi diversi terbarunya Taksi Vios tersebut nampaknya mulai berbenah untuk meningkatkan kenyamanannya.

Sebagai tambahan lagi, mungkin kualitas suara high-nya berkurang, namun sekali lagi biasanya untuk high freq ini sulit untuk dipisahkan dan dibayangkannya, sehingga saya merasa versi terbaru ini cukup signifikan untuk dicoba, apalagi gratisan.

Untuk kelemahannya saat ini adalah seringnya mengalami crash. Saya juga tidak mengerti sistem ini namun cukup sering mengalami crash, mungkin masih terlalu baru meskipun namanya tidak ada emblem BETA namun masih banyak bug-bugnya. Sekian ulasan dari saya, ini merupakan pendapat saya seluruhnya dan saya tidak bekerja di Winamp.

Friday, December 2, 2011

Apa Fungsi Countdown timer di Lampu Merah?


Saat ini saya berdiam di kota Bandung yang menurut saya kotanya cukup kecil. Sangat berbeda dengan kota kelahiran saya di Ibukota. Namun banyak kelebihan dari kota Bandung selain temperature udaranya yang lebih manusiawi daripada Jakarta, yaitu waktu tempuh yang relative lebih pendek dan fasilitas yang jauh lebih memadai. Rasio angkot dan penumpang yang lebih masuk akal daripada jumlah jalanan yang tersedia. Meskipun jaraknya tidak terlalu jauh, namun singkatnya waktu tidak sesignifikan ketika Jakarta sedang sepi. Jalanan di Bandung relative sempit dan banyak yang rusak. Sebenarnya jumlah rusaknya itu mirip seperti di Ibukota, namun rusaknya di Bandung itu akibat pembuatan jalan yang “sekedar” dan memperbaiki jalan tanpa menanggulangi masalah utamanya, erosi oleh air. Kalau di Jakarta, jarang sekali rusak dengan penyebab seperti di Bandung. Rusaknya di Jakarta itu kebanyakan proyek “bawah tanah”, baru saja diperbaiki tidak lama dibongkar lagi dengan alasan ini itu.



Fasilitas lainnya yang tampak adalah Countdown Timer di lampu merah. Hampir disetiap persimpangan lampu merah disini sudah dilengkapi alat tersebut. Kalau di Jakarta, hanya jalanan yang ramai dan “mahal” saja yang tersedia. Sebenarnya apa fungsi alat tersebut? 

Fungsi Countdown Timer yaitu membuat arus kendaraan lancar. Saat lampu hijau dihitung mundur dan sudah mau berganti warna menjadi merah, seharusnya para pengemudi sudah siap untuk mengerem, sementara pada kenyataannya, pedal gas malah diinjak keras. Jika semua pengemudi dianggap dalam kondisi ideal (melakukan hal yang seharusnya itu), kendaraan dari arah lain juga sudah bersiap sejak warnanya mau berubah dari merah ke hijau. Sehingga, antrean kendaraan dari depan sampai belakang serempak bergerak karena sudah bersiap sebelum lampu berubah menjadi hijau. Arus kendaraan pun menjadi lancar, tertib, dan aman.

Rasanya saya agak kesal ketika saya tepat berada dibelakang mobil paling depan, namun reaksinya lambat ketika lampu berubah menjadi hijau seakan-akan memang alat ini tidak ada. Memang prilaku tiap orang berbeda-beda saat sedang menunggu di lampu merah, namun bukannya kita tetap satu tujuan? Yaitu mencapai tujuan kita dengan cepat dan selamat. 

Saya juga lebih senang ketika lampu merah dipasang full LED. Selain karena hemat daya, pancaran sinaran tersebut tidak terlalu menyilaukan dan sangat jelas dilihat meskipun dari jarak jauh, berkabut, ataupun hujan deras. 

Monday, November 28, 2011

Kebutuhan atau Keinginan?

Di Negara tercinta yaitu Indonesia ini, memang merupakan sasaran pasaran yang “empuk” dari seluruh dunia. Kalau kita tengok kebelakang, banyak produsen-produsen ternama dunia (pastinya produknya tidak murah) yang akhirnya biasa kita lihat sehari-hari di jalanan. Sebenarnya apakah memang mereka para produsen tersebut memberikan produk berkualitas pada masyarakat dengan cara penjualan yang mengikat hati masyarakat Indonesia atau memang masyarakat Indonesianya sendiri yang konsumtif akan barang-barang tersebut. Apakah masyarakat kita itu butuh atau hanya sekedar keinginan?


 “Nafsu Memiliki Telepon Pintar” (Kompas, 26 November 2011, hal 1) ini menjelaskan dibukanya pembelian salah satu merek handphone terkenal dengan potongan 50% untuk 1.000 pembeli pertama. Sebenarnya ini tidak masalah jika antusiasnya normal. Namun sebaliknya, kondisinya menurut saya luar biasa, karena saat mengantre pembelian tersebut sangat ramai dan cukup rusuh. Dikabarkan ada beberapa orang yang pingsan, luka-luka, bahkan ada yang patah kaki. Bayangkan saja, diperkirakan produk keluaran RIM tersebut telah terjual sebanyak 9,7 juta di negara kita ini

Dalam kenyataannya, saya juga masih meragukan antara fungsi sebuah ponsel. Dari banyak orang yang saya temui, mayoritas pengguna high-end phone malahan tidak bisa memanfaatkan kelebihan dari ponsel mereka. Ini menandakan bahwa ponsel yang mereka yang cukup “wah” tersebut hanya digunakan layaknya ponsel mediocre dengan balutan casing dan pride yang sangat tinggi. Memang ini tidak menjadi masalah bila masyarakat tersebut benar-benar membutuhkannya, terlebih jika ponsel tersebut merupakan kreasi anak dalam negeri. 

Sebenarnya saya masih bertanya-tanya, kemanakah larinya investor dalam negeri ini? Saya sendiri melihat teman-teman saya dari jurusan informatika sangat lihai bermain OS yang sudah ada saat ini. Apakah kita tidak mampu atau tidak diberi kepercayaan? Ini sebenarnya sulit untuk dijawab karena pandangan tiap orang tentunya berbeda-beda. Saya sendiri sampai saat ini masih menggunakan produk RIM meskipun saya juga merasakan ponsel tersebut masih belum saya gunakan dengan maksimal. Tetapi setidaknya saya menyadari ketidakberdayaan saya terhadap produk asing tersebut. Jadi sebenarnya, apakah sifat konsumtif tersebut lahir karena keterpaksaan,  ketidakberdayaan, atau harga diri?

Friday, November 25, 2011

Cerita Kuliah Heat Exchanger

Foto ini diambil ketika kuliah Heat Exchanger 25 Novembet 2011 sekitar pukul 15.30.

Quote of this photo : banyak orang bermimpi masuk ITB, tapi setelah masuk ITB malah bermimpi juga disini

Saturday, October 1, 2011

Dream Theater - Answer Lies Within



Lyric
Music: Dream Theater, Lyrics: John Petrucci

Look around
Where do you belong
Don't be afraid
You're not the only one

Don't let the day go by
Don't let it end
Don't let a day go by in doubt
The answer lies within

Life is short
So learn from your mistakes
And stand behind
The choices that you make

Face each day
With both eyes open wide
And try to give
Don't keep it all inside

Don't let the day go by
Don't let it end
Don't let a day go by in doubt
The answer lies within

You've got the future on your side
You're gonna be fine now
I know whatever you decide
You're gonna shine

Don't let the day go by
Don't let it end
Don't let a day go by in doubt
You're ready to begin
Don't let a day go by in doubt
The answer lies within.


Ini salah satu lagu favorit saya dari band kesayangan saya, Dream Theater. Lagu ini sangat harmonis baik dari lirik dan musiknya, terlebih di video ini, diiringi oleh Octavarium Orchestra by James Sharified. Lyric is so deep.

Link : http://www.mediafire.com/?zziyyzd50ed


Wednesday, September 28, 2011

Review : AKG K501



 (taken from : www.headfonia.com)

AKG merupakan sebuah produsen brand headphone ternama asal Austria. AKG menciptakan headphone dalam berbagai kelasnya, mulai dari low, medium, end, dan high-end. Untuk dari segi suara pun, AKG menciptakan variasi disetiap produknya, terkadang kuat di low freq sampai ada headphone yang cukup lemah di low freq-nya. Tetapi hanya satu yang menjadi ciri khas AKG yang dirasakan dari headphone yang low sampai yang high (untuk kelas high-end, belum pernah dicoba) yaitu staging yang sangat mudah didapat. Banyak headphone dari produsen lain yang juga mempunyai staging bagus, tetapi itu terlalu spesifik dan untuk tipe headphone high-nya mereka. 

AKG K501, merupakan salah satu produk kelas High dengan tipe open dan full circumaural. K501 secara fisik sama seperti AKG K701 maupun K401 tetapi secara fisik hampir identik dengan K401, hanya saja clamping di K401 lebih tight dan terlihat lebih kecil. Dari perwarnaannya sendiri, cukup kalem dengan pencitraan yang kurang menarik. Tetapi ada suatu keistimewaan dibalik sebuah kesederhanaan tampilan yang ada pada K501, inilah mengapa AKG K501 merupakan headphone yang paling saya favoritkan dibandingkan dengan K701 yang umumnya lebih banyak disukai oleh para pecinta audio headphone. Untuk ketersediannya di pasaran saat ini cukup sulit dan langka mengingat K501 sudah tidak diproduksi lagi karena sudah dipasarkan model yang lebih baru seperti K601, K701, dan K702. Untuk harga beli, menurut saya agak tidak sesuai, terlalu murah. Bayangkan saja, harga K501 sekitar $100-$200, dan menurut saya ini adalah sebuah blunder dari sang penciptanya, AKG. Banyak orang lain juga yang berkata demikian, tatkala performa yang didapat jauh diatas harganya. Tetapi ingat, K501 sangat membutuhkan penguat yang sangat kuat, tidak bisa dikuatkan dengan amplifier biasa, apalagi portable amplifier. 

AKG K501 memiliki suara yang cukup langka, dimana suaranya terdengar hollow. Biasanya, untuk headphone sekelas ini seperti Sennheiser HD650 atau HD600 dengan tipe open-nya tersebut, sangat mudah untuk mendapatkan soundstage yang luas dan positioning yang mudah didapat. Tetapi pada K501 ini, terasa jauh lebih meluas ke kanan-kiri, untuk luas depan-belakang hampir sama saja seperti headphone sekelas pada umumnya. Karena luasnya kanan-kiri tersebut, ada rasa suara tersebut mencekung disaat posisinya mengarah ke tengah, oleh karena itu dianggap hollow. Untuk masalah soundstage, untuk saya inilah yang luas dan tetap enak didengarkan. Bayangkan saja jika luasnya itu tiada batas, lalu apa yang bisa dibayangkan. Dari segi positioning, K501 tetap nikmat tetapi masih kalah dengan K701, mengingat K701 memang punya staging yang lebih rapat sehingga ekor frekuensinya bisa tepat berada posisinya. 

 (taken from : www.headfonia.com)
            Mengenai frekuensi yang dihasilkan oleh K501 ini, saya sangat menyukai bagian high frequency-nya. Memang secara riil, manusia hampir tidak bisa mendengar frekuensi mendekati 20 kHz, namun saya merasakan “cring” yang dihasilkannya sangat jelas dan tidak berlebihan, sehingga sangat pas untuk didengar. Untuk mid frekuensi yang identik dengan vocal, sangat tidak direkomendasikan untuk memiliki headphone ini. Mid-nya cenderung agak laidback dan kurang bertenaga. Untuk saya tidak masalah karena music yang biasa saya dengarkan lebih banyak instrument-nya seperti Dream Theater, Pink Floyd, Suede, dll. Tetapi untuk menunjang music tersebut, sangat mumpuni, mengingat low frequency ini tidak berlebihan, cenderung kurang untuk banyak orang. Memang low frequency-nya kurang terasa kuantitasnya seperti kebanyak headphone open kelas ini kecuali HD650 yang memang kuat di low frequency. Tetapi, ini merupakan suatu kelebihan yaitu saat memainkan lagu dengan ketukan cepat, K501 dengan mudah memainkannya tanpa ada hentakan yang muncul diluar rekaman. Biasanya untuk headphone dengan kuantitas bass yang besar, menghasilkan ekor bass yang besar juga sehingga menyebabkan akurasi bass rekaman agak menyimpang. Hanya headphone Sennheise HD25 saja yang dirasa punya pace cepat tetapi bass-nya masih bisa mengikutinya. Untuk kualitas bass K501, masih cukup tetapi sangat clear saat John Myung memainkan solo bass dalam music Dream Theater. Kelebihan lain dari headphone ini adalah separasi yang terjadi di high frequency sangat mudah didapat dan jelas, ini seperti bass berekor tetapi pada high frequency. 

Kelebihan :
  • Harga
  • Soundstage
  • Nyaman
  • High frequency
  • Clear and netral
Kelemahan :
  • Discontinue
  • Warna fisik
  • Sangat berat untuk di-drive oleh amplifier
  • Low Frequencya


 

Blogger news

Blogroll

About

tes