Di Negara tercinta yaitu Indonesia ini, memang merupakan
sasaran pasaran yang “empuk” dari seluruh dunia. Kalau kita tengok kebelakang,
banyak produsen-produsen ternama dunia (pastinya produknya tidak murah) yang
akhirnya biasa kita lihat sehari-hari di jalanan. Sebenarnya apakah memang
mereka para produsen tersebut memberikan produk berkualitas pada masyarakat
dengan cara penjualan yang mengikat hati masyarakat Indonesia atau memang
masyarakat Indonesianya sendiri yang konsumtif akan barang-barang tersebut.
Apakah masyarakat kita itu butuh atau hanya sekedar keinginan?
“Nafsu Memiliki
Telepon Pintar” (Kompas, 26 November 2011, hal 1) ini menjelaskan dibukanya
pembelian salah satu merek handphone terkenal dengan potongan 50% untuk 1.000
pembeli pertama. Sebenarnya ini tidak masalah jika antusiasnya normal. Namun
sebaliknya, kondisinya menurut saya luar biasa, karena saat mengantre pembelian
tersebut sangat ramai dan cukup rusuh. Dikabarkan ada beberapa orang yang
pingsan, luka-luka, bahkan ada yang patah kaki. Bayangkan saja, diperkirakan
produk keluaran RIM tersebut telah terjual sebanyak 9,7 juta di negara kita ini
Dalam kenyataannya, saya juga masih meragukan antara fungsi
sebuah ponsel. Dari banyak orang yang saya temui, mayoritas pengguna high-end
phone malahan tidak bisa memanfaatkan kelebihan dari ponsel mereka. Ini
menandakan bahwa ponsel yang mereka yang cukup “wah” tersebut hanya digunakan
layaknya ponsel mediocre dengan balutan casing dan pride yang sangat tinggi.
Memang ini tidak menjadi masalah bila masyarakat tersebut benar-benar
membutuhkannya, terlebih jika ponsel tersebut merupakan kreasi anak dalam
negeri.
Sebenarnya saya masih bertanya-tanya, kemanakah larinya
investor dalam negeri ini? Saya sendiri melihat teman-teman saya dari jurusan
informatika sangat lihai bermain OS yang sudah ada saat ini. Apakah kita tidak
mampu atau tidak diberi kepercayaan? Ini sebenarnya sulit untuk dijawab karena
pandangan tiap orang tentunya berbeda-beda. Saya sendiri sampai saat ini masih
menggunakan produk RIM meskipun saya juga merasakan ponsel tersebut masih belum
saya gunakan dengan maksimal. Tetapi setidaknya saya menyadari ketidakberdayaan
saya terhadap produk asing tersebut. Jadi sebenarnya, apakah sifat konsumtif
tersebut lahir karena keterpaksaan,
ketidakberdayaan, atau harga diri?
No comments:
Post a Comment