Sebenarnya, saya tidak tahu
banyak tentang mobil listrik, tapi mau coba berpendapat dan bertukar pikiran
saja. Mobil listrik merupakan mobil yang digerakkan oleh motor listrik yang
mendapat suplai dari baterai. Kalau dipikir sekilas, jelas ini jauh lebih
sederhana daripada mobil yang menggunakan motor bakar yang butuh ini itu,
banyak komponen. Makin banyak komponen, makin besar kemungkinan rusaknya.
Kenapa mobil listrik?
Mobil listrik memang diciptakan
untuk mengeluarkan belenggu Negara dari derasnya harga minyak dunia. Selain itu
ada “isu” bahwa cadangan minyak dunia sudah terbatas. Lalu ada juga yang
mengatakan untuk konversi minyak ke gas. Banyak juga yang “tertarik” dengan
teknologi hybrid. Tapi nyatanya, sampai saat ini kenapa luar negeri yang “lebih
maju” malah lebih tertarik mengembangkan teknologi hybrid daripada motor
listrik sendiri? Tentunya sampai saat ini juga, performa dari motor bakar belum
bisa dikalahkan oleh motor listrik. Bayangkan saja eropa yang kiblatnya
mengejar akselarasi dan US mengejar ketangguhan dengan besarnya kapasitas itu
hampir tidak mempedulikan apa yang disebut emisi. Mobil super (supercar)
tersebut sudah biasa mencapai 500bhp atau sekitar 372 kW. Bayangkan saja dengan
asumsi efisiensi yang sama, dibutuhkan motor listrik 372 kW. Lalu apa
masalahnya toh selama ini motor listrik dayanya besar bahkan ada yang sampai
0.5 MW. Atau dengan efisiensi yang motor bakar sekitar 40% dan motor listrik
90%, maka untuk mencapai 500bhp diperlukan sekitar 222 kW. Untuk di Indonesia
sendiri, 1 rumah hanya berkapasitas 2 – 5 kW. Bayangkan untuk 1 mobil dengan
performa tinggi membutuhkan 50 – 100 rumah.
Negara maju yang notaben-nya listrik
sudah lebih dari cukup yang berasal dari pembangkit nuklir dan sebagainya itu
mungkin masih mempertimbangkan hal tersebut untuk mengembangkan mobil listrik
performa tinggi. Bayangkan juga berapa besar baterai yang digunakan untuk
menyuplai motor listrik seperti itu dan berapa lama nge-charge-nya.
Selain itu, yang paling
dikhawatirkan masyarakat umum adalah, jika motor listrik ini “ngadat” atau
kehabisan suplai baterai atau baterai yang soak. Karena sampai saat ini, tempat
nge-charge mobil ini masih belum dipikirkan lebih jauh. Seharusnya memang tiap
rumah sudah bisa nge-charge ini. Namun bayangkan bila mogok ini dialami banyak
orang dan terjadi disiang atau saat peak load? Ini lebih akan merusak jaringan
listrik. Belum lagi harga listrik saat peak load ini. Wacana yang diberedar
bahwa mobil listrik ini “sebaiknya” di-charge pada waktu malam-pagi buta karena
saat itu beban rendah. Tapi bila ini telah dilakukan, beban rendah yang terjadi
pada pukul 23.00 – 5.00 ini mungkin akan jarang terjadi lagi. Tentunya ini akan
mempengaruhi para pembangkit listrik dan umur turbin-turbin mereka. Tentunya
ini akan memakan biaya lagi. Sebaiknya ini dipertimbangkan lagi dan
direncanakan lebih matang untuk penggunaan mobil listrik, bukan hanya mobilnya
sendiri, tapi juga aspek komplemennya.
Mobil listrik nantinya akan sebuah pilihan atau keharusan?
Dari banyaknya pilihan untuk
mengurangi emisi dan pemakaian minyak dunia, seperti hybrid, konversi ke gas,
dan menciptakan motor bakar berefisiensi tinggi, sepertinya mobil listrik
memang bisa menjadi sebuah pilihan yang tepat guna. Saat ini, alumni mesin Pak
Dasep Ahmadi mengembangkan mobil listrik ini. Sekilas, memang mobil ini
mengejar harga jual yang rendah agar dapat dijangkau masyarakat. Dosen mesin
ITB pun turut andil untuk mengembangkannya. Mobil listrik sebaiknya lebih
difungsikan untuk mobil dalam kota yang memang tidak mengejar performa. Kota
super padat seperti Jakarta yang memang sudah kaya polusi dan kemacetan, sangat
berpotensi untuk pasar utama mobil listrik. Tidak ada gas buang, dimensi mobil
yang tidak besar, tidak perlu mengantri di SPBU, dan bila diberi transmisi
otomatis akan lebih “menjanjikan” untuk “parkir” di Ibukota.
Didesain untuk melahap jarak 150 km
atau mil ini seharusnya dipertegas dengan kondisi yang dialami oleh mobil
tersebut. Tentunya jika menghadapi kemacetan, jalan tol, atau luar kota,
konsumsinya akan berbeda-beda. Jika 150 km per hari didesain untuk kemacetan
Jakarta, nampaknya sudah bisa bikin pusing untuk keliling Ibukota sehingga
batasan ini sudah aman. Selain itu, di Jakarta atau di kota besar lainnya akan
lebih mudah membuat “pengisian” jika ternyata mogok dijalan dibandingkan di
jalanan luar kota, apalagi diluar pulau Jawa. Daya yang tidak besar, sekitar 10
– 50 bhp ini juga cukup untuk melibas didalam kota yang sebenarnya lebih banyak
diam daripada geraknya. Hanya saja, perlu dikembangkan charger yang lebih “oke”
agar daya yang kecil ini tidak perlu diisi semalaman. Para pengatur regulasi
pun harus siap membuat “siap” PLN untuk penyedian listrik pada malam hari
tersebut dan bersiap untuk “lebih seringnya servis” pembangkit penyuplai
tersebut. Sesungguhnya, mobil listrik sebagai city car, lebih menjanjikan daripada pilihan-pilihan lainnya, hanya saja investasi besar dan jangka menengah-panjang.
Tapi, ada masalah lain juga.
Bayangkan jika mobil listrik ini banyak digunakan sementara jalan di Jakarta
pertumbuhannya sangat minim? Masalah seperti ini memang sulit bung :D.
NB : Aduh, ngurangin kerjaan anak mesin dong ya
haha, lama-lama lab motor bakar jadi museum deh.
1 comment:
Halo Mas Arif, salam kenal :D
pernah ada solusi untuk menyelesaikan permasalahan pengisian baterai, yaitu dengan jalan "menukar" baterai yang hampir/nyaris habis dengan baterai yang sudah terisi penuh di "stasiun pembelian baterai"
saya rasa ide ini cukup bagus, dan lebih bisa diterapkan di Indonesia, daripada mengisi batere di rumah (yang seringnya ada pemadaman bergilir atau oglangan), ataupun dengan pengisian nir-kabel seperti ini:www.bbc.co.uk/news/technology-18984160 (memerlukan infrastructur yang canggih dan bisa aja dengan mudah dicuri).
Post a Comment