Akhir-akhir ini, isu mengenai pencabutan
subsidi BBM kembali muncul ke permukaan. Saya melihat saat ini sebagian
kecil masyarakat (teman dan lingkungan saya) mulai menerima pencabutan subsidi
ini. Mengapa? Apakah masyarakat sudah mulai acuh terhadap masalah ini yang
selalu berakhir tidak jelas.
Menurut saya, BBM sendiri sudah tidak
layak disubsidi (BBM bersubsidi seperti Premium dan Solar). Premium dan Solar
tersebut banyak digunakan secara tidak bijak, yaitu BBM yang seharusnya
digunakan untuk kaum tertentu malah digunakan untuk kaum lainnya. Secara
harfiah, subsidi BBM sesungguhnya digunakan untuk mensejahterakan rakyat. Lalu
muncul pertanyaan seperti, “Lalu kenapa dicabut? Bukankah kalau dicabut akan
mengurangi kesejahteraan rakyat? “. Saya akan mencoba menjelaskan menurut hemat
saya. Saya sendiri mengartikan “mensejahterakan rakyat” itu sebagai proses
untuk membuat sejahtera, dari belum sejahtera menjadi sejahtera. Tapi, BBM
sendiri secara kuantitas lebih banyak digunakan oleh “yang sudah sejahtera”,
bahkan BBM masih digunakan oleh “yang sudah jauh lebih dari sejahtera”. Jadi,
apakah masih sejalan dengan tujuan? Saya pikir tidak. Saya sendiri kaget saat
mendengar jawaban saat bertanya-tanya kepada orang di sekitar saya yang menurut
saya masih perlu mendapatkan bantuan subsidi BBM untuk mereka. Beberapa dari mereka setuju
pencabutan ini dilakukan. Alasannya sederhana, lebih baik beli BBM non subsidi,
naik angkutan kota (angkot), atau ditabung daripada uangnya digunakan untuk
rokok, judi, main cewe, dll.
Jawaban atau pernyataan tersebut memang
tidak bisa mewakili ratusan ribu atau lebih rakyat yang ada pada kondisi setara
atau bahkan lebih buruk. Tetapi setidaknya, saya tahu bahwa masih ada orang
dengan status kesejahteraan yang dibawah rata-rata mengeluarkan pernyataan tersebut.
Saya sendiri mengakui masih menggunakan
Premium. Alasannya adalah “kan masih ada Premium, ngapain pake Pertamax”. Saya
yakin mayoritas pengguna Premium saat ini beralasan sama seperti saya
dibandingkan alasan karena memang tidak mampu. Lalu, bagaimana kalau subsidi
dicabut? Nantinya, setelah dicabut pun, saya masih akan menggunakan Premium
asal harganya masih dibawah Pertamax. Alasan saya lebih karena karakter
kendaraan yang saya gunakan yang kurang cocok menggunakan oktan tinggi. Jika
mau menggunakan oktan tinggi, engine-nya
harus dimodifikasi dan memerlukan biaya lagi.
Saya malah berpikir, pencabutan ini
nantinya akan bersifat “memaksa” ke rakyat untuk menggunakan Pertamax. Kenapa harus
dipaksa? Karena karakter bangsa kita seperti itu. Aturan tidak bisa ditegakkan
tanpa adanya paksaan atau hukuman. Contoh saja, dari kejadian sehari-hari,
siapa yang tidak tahu arti dari lampu merah yang menyala di persimpangan?
Bahkan anak kecil yang belum bisa mengendarai motor atau mobil pun tahu. Tapi
apa kenyataannya? Jika tidak ada polisi yang “nongkrong” di seberang, hampir
dipastikan banyak yang menerobos lampu
merah tersebut.
Pencabutan subsidi berarti akan ada dana
yang sangat besar yang tidak digunakan oleh Pemerintah. Lalu untuk apakah dana
“segar” itu? Ini adalah persoalan yang menurut saya lebih rumit daripada
sekedar mencabut subsidi BBM. Yang terpikir oleh saya adalah mengalirkan dana
lain ke sector lain seperti transportasi umum, pendidikan, pangan, atau
pertahanan negara. Saya akan menjelaskan jika dana tersebut berbelok ke salah
satu sector yaitu transportasi umum. Bukankah mungkin jika suatu saat nanti,
transportasi umum kita akan semudah dan senyaman di negara tetangga seperti Malaysia
atau bahkan Singapura? Bisa saja dana ini digunakan untuk memperbaiki angkutan
umum yang sudah tua (meremajakan), menambah trayek, menambah gaji supir atau
pegawai sejenisnya, menambah sistem baru (monorail maupun kereta cepat dengan
jalur baru baik dalam maupun luar kota). Meremajakan angkutan akan mengurangi
angka kecelakaan yang disebabkan hal teknis serta meningkatkan kenyamanan dan
keamanan penumpang. Menambah gaji supir atau membuat gaji supir menjadi gaji
tetap, nantinya mungkin akan berdampak positif ke kenyamanan penumpang. Supir
angkot tidak lagi dikejar setoran yang membuat supir lebih lihai daripada
Fernando Alonso. Angkot menjadi lebih tertib dan bisa berhenti di tempat yang
ditentukan, karena sudah tidak terlalu “menggebu-gebu” dalam mencari penumpang.
Menambah trayek serta menambah sistem baru akan mempermudah penumpang untuk
berpergian. Dengan banyaknya serta mudahnya menggunakan transportasi umum,
dengan sendirinya akan mengurang populasi kendaraan di jalan yang kemudian
membuat jalanan lebih lengang. Semua hal yang saya jelaskan di atas akan
membuat mindset masyarakat berubah
menjadi “lebih enak naik transportasi umum yang lebih mudah, aman, nyaman,
daripada naik kendaraan pribadi”. Jika mindset
tersebut sudah tertanam dibanyak masyarakat, sudah dipastikan bahwa rencana ini
berhasil.
Jika dana tersebut dialihkan, akan muncul
lagi persoalan. Akankah dana yang dialihkan tersebut 100% tersampaikan ke
tujuannya tanpa ada potongan-potongan gelap? Ini saya hanya bisa berdoa, karena
ini menyangkut jalan pikiran, ibadah, serta iman dari masing-masing orang yang
bersangkutan.
Jadi, akhir kata, saya setuju Subsidi BBM dicabut asalkan dana tersebut tidak "menguap" hilang ditelan angin dan ada baiknya digunakan untuk hal positif lainnya yang bisa membangun negara ini lebih maju.
Jadi, akhir kata, saya setuju Subsidi BBM dicabut asalkan dana tersebut tidak "menguap" hilang ditelan angin dan ada baiknya digunakan untuk hal positif lainnya yang bisa membangun negara ini lebih maju.
No comments:
Post a Comment