Sunday, July 29, 2012

Mobil Listrik Indonesia


Sebenarnya, saya tidak tahu banyak tentang mobil listrik, tapi mau coba berpendapat dan bertukar pikiran saja. Mobil listrik merupakan mobil yang digerakkan oleh motor listrik yang mendapat suplai dari baterai. Kalau dipikir sekilas, jelas ini jauh lebih sederhana daripada mobil yang menggunakan motor bakar yang butuh ini itu, banyak komponen. Makin banyak komponen, makin besar kemungkinan rusaknya.


Kenapa mobil listrik? 

Mobil listrik memang diciptakan untuk mengeluarkan belenggu Negara dari derasnya harga minyak dunia. Selain itu ada “isu” bahwa cadangan minyak dunia sudah terbatas. Lalu ada juga yang mengatakan untuk konversi minyak ke gas. Banyak juga yang “tertarik” dengan teknologi hybrid. Tapi nyatanya, sampai saat ini kenapa luar negeri yang “lebih maju” malah lebih tertarik mengembangkan teknologi hybrid daripada motor listrik sendiri? Tentunya sampai saat ini juga, performa dari motor bakar belum bisa dikalahkan oleh motor listrik. Bayangkan saja eropa yang kiblatnya mengejar akselarasi dan US mengejar ketangguhan dengan besarnya kapasitas itu hampir tidak mempedulikan apa yang disebut emisi. Mobil super (supercar) tersebut sudah biasa mencapai 500bhp atau sekitar 372 kW. Bayangkan saja dengan asumsi efisiensi yang sama, dibutuhkan motor listrik 372 kW. Lalu apa masalahnya toh selama ini motor listrik dayanya besar bahkan ada yang sampai 0.5 MW. Atau dengan efisiensi yang motor bakar sekitar 40% dan motor listrik 90%, maka untuk mencapai 500bhp diperlukan sekitar 222 kW. Untuk di Indonesia sendiri, 1 rumah hanya berkapasitas 2 – 5 kW. Bayangkan untuk 1 mobil dengan performa tinggi membutuhkan 50 – 100 rumah.



Negara maju yang notaben-nya listrik sudah lebih dari cukup yang berasal dari pembangkit nuklir dan sebagainya itu mungkin masih mempertimbangkan hal tersebut untuk mengembangkan mobil listrik performa tinggi. Bayangkan juga berapa besar baterai yang digunakan untuk menyuplai motor listrik seperti itu dan berapa lama nge-charge-nya.

Selain itu, yang paling dikhawatirkan masyarakat umum adalah, jika motor listrik ini “ngadat” atau kehabisan suplai baterai atau baterai yang soak. Karena sampai saat ini, tempat nge-charge mobil ini masih belum dipikirkan lebih jauh. Seharusnya memang tiap rumah sudah bisa nge-charge ini. Namun bayangkan bila mogok ini dialami banyak orang dan terjadi disiang atau saat peak load? Ini lebih akan merusak jaringan listrik. Belum lagi harga listrik saat peak load ini. Wacana yang diberedar bahwa mobil listrik ini “sebaiknya” di-charge pada waktu malam-pagi buta karena saat itu beban rendah. Tapi bila ini telah dilakukan, beban rendah yang terjadi pada pukul 23.00 – 5.00 ini mungkin akan jarang terjadi lagi. Tentunya ini akan mempengaruhi para pembangkit listrik dan umur turbin-turbin mereka. Tentunya ini akan memakan biaya lagi. Sebaiknya ini dipertimbangkan lagi dan direncanakan lebih matang untuk penggunaan mobil listrik, bukan hanya mobilnya sendiri, tapi juga aspek komplemennya.

Mobil listrik nantinya akan sebuah pilihan atau keharusan?

Dari banyaknya pilihan untuk mengurangi emisi dan pemakaian minyak dunia, seperti hybrid, konversi ke gas, dan menciptakan motor bakar berefisiensi tinggi, sepertinya mobil listrik memang bisa menjadi sebuah pilihan yang tepat guna. Saat ini, alumni mesin Pak Dasep Ahmadi mengembangkan mobil listrik ini. Sekilas, memang mobil ini mengejar harga jual yang rendah agar dapat dijangkau masyarakat. Dosen mesin ITB pun turut andil untuk mengembangkannya. Mobil listrik sebaiknya lebih difungsikan untuk mobil dalam kota yang memang tidak mengejar performa. Kota super padat seperti Jakarta yang memang sudah kaya polusi dan kemacetan, sangat berpotensi untuk pasar utama mobil listrik. Tidak ada gas buang, dimensi mobil yang tidak besar, tidak perlu mengantri di SPBU, dan bila diberi transmisi otomatis akan lebih “menjanjikan” untuk “parkir” di Ibukota.

Didesain untuk melahap jarak 150 km atau mil ini seharusnya dipertegas dengan kondisi yang dialami oleh mobil tersebut. Tentunya jika menghadapi kemacetan, jalan tol, atau luar kota, konsumsinya akan berbeda-beda. Jika 150 km per hari didesain untuk kemacetan Jakarta, nampaknya sudah bisa bikin pusing untuk keliling Ibukota sehingga batasan ini sudah aman. Selain itu, di Jakarta atau di kota besar lainnya akan lebih mudah membuat “pengisian” jika ternyata mogok dijalan dibandingkan di jalanan luar kota, apalagi diluar pulau Jawa. Daya yang tidak besar, sekitar 10 – 50 bhp ini juga cukup untuk melibas didalam kota yang sebenarnya lebih banyak diam daripada geraknya. Hanya saja, perlu dikembangkan charger yang lebih “oke” agar daya yang kecil ini tidak perlu diisi semalaman. Para pengatur regulasi pun harus siap membuat “siap” PLN untuk penyedian listrik pada malam hari tersebut dan bersiap untuk “lebih seringnya servis” pembangkit penyuplai tersebut. Sesungguhnya, mobil listrik sebagai city car, lebih menjanjikan daripada pilihan-pilihan lainnya, hanya saja investasi besar dan jangka menengah-panjang.


Tapi, ada masalah lain juga. Bayangkan jika mobil listrik ini banyak digunakan sementara jalan di Jakarta pertumbuhannya sangat minim? Masalah seperti ini memang sulit bung :D.

NB : Aduh, ngurangin kerjaan anak mesin dong ya haha, lama-lama lab motor bakar jadi museum deh. 

1 comment:

Anonymous said...

Halo Mas Arif, salam kenal :D
pernah ada solusi untuk menyelesaikan permasalahan pengisian baterai, yaitu dengan jalan "menukar" baterai yang hampir/nyaris habis dengan baterai yang sudah terisi penuh di "stasiun pembelian baterai"
saya rasa ide ini cukup bagus, dan lebih bisa diterapkan di Indonesia, daripada mengisi batere di rumah (yang seringnya ada pemadaman bergilir atau oglangan), ataupun dengan pengisian nir-kabel seperti ini:www.bbc.co.uk/news/technology-18984160 (memerlukan infrastructur yang canggih dan bisa aja dengan mudah dicuri).

 

Blogger news

Blogroll

About

tes